Salam sejahtera bagi kita semua |
Kata evolusi berarti perkembangan atau pertumbuhan secara perlahan menjadi lebih besar. Dalam konteks evolusi kekerasan, perubahan menjadi besar ini memiliki makna yang beragam. Dalam bahasa Jawa ada pepatah “kriwikan dadi grojogan”. Susah menterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tetapi itu menggambarkan sebuah kebocoran kecil sebuah tanggul parit/sungai yang lama-lama makin besar dan bisa mengakibatkan jebolnya tanggul. Dala evolusi kekerasan ini bisa dari peristiwa kecil, perkelaian anak-anak, merembet ke perkelaian antar geng dan bisa berkembang menjadi antar kelompok masyarakat. Bisa juga berkembang dari sebuah saling mengejek antar 2 pribadi yang bertengkar, terjadi perkelaian, kemudian masing-masing membawa temannya, terjadilah perkelaian antar kelompok, bahkana saat ini sampai pada konflik antar pemeluk agama.
Fenomena evolusi kekerasan sudah
terjadi sejak lama, namun penulis menengarai mulai sekitar tahun 1980-an. Hal
ini ditandai dengan peringatan-peringatan di gang-gang masuk perkampungan.
Tahun 1980 ini mulai banyaknya masyarakat dapat membeli sepeda motor. Orang tua
yang mampu memberikan sepeda motor untuk anak-anaknya yang sekolah dan kuliah. Keadaan
ini meningkatkan angka kecelakaan di jalan besar atau di jalan-jalan kampung.
Di jalan-jalan perkampungan sering terjadi kecelakaan yang menimpa anak-anak.
Maklum bahwa jalan-jalan di kampung masih banyak dipergunakan untuk anak-anak
bermain. Kemudian muncul peringatan-peringatan di mulut jalan: “awas banyak
anak-anak”. Ketika peringatan “awas banyak anak-anak” tidak menyurutkan pengendara memperlambat
kendaraannya, peringatannya diperkeras menjadi “awas banyak pemuda”.
Sebegitupun belum mengurangi angka korban dan memperlambat kendaraan,
dimunculkan ancaman “ngebut benjut” – “nabrak keplak” dan peringatan keras
lainnya.
Evolusi kekerasan saat ini
sudah sampai pada titik puncaknya. Dari
sebuah peringatan menjadi sebuah ancaman, dan berkembang menjadi pengadilan
masa yang kadang buta, tidak melihat permasalahan lebih dulu, langsung diadili
massa. Pengadilan massa, tidak berdasarkan fakta dan sering ngawur yang
berakibat fatal bagi pihak yang tidak bersalah. Masyarakat sudah terlanjur
termakan oleh pola piker yang beegitu mudah menjatuhkan vonis kesalahan dan
mengeksekusi hukumannya.
Dibeberapa tempat orang dapat
bertemu dan saling bercerita (angkringan, pos ronda, dll) bisa didapatkan
cerita-cerita tentang kekerasan, penghakiman massa dan penerapan hukuman yang
hanya berdfasarkan emosi dan asumsi.
Teman di kantor saya minta tolong
untuk mendistribusi buku-buiu ke relasi-relasi. Diperjalanan ada kecelakaan,
kemudian teman tadi menolong, membawa ke Puskesmas dan mengantar pulang ke
rumah korban. Sampai di rumah orang tua korban langsung memarahi dan nggebrak
mobil. Kemudian anaknya berteriak, “jangan pa, bapak ini menolong saya, bukan
yang menabrak”. Baru kemudian orang itu berhenti nggebrak mobil dan teriak.
Lalu bertanya pada anaknya masih dengan nada tinggi “apa kata-katamu bisa
dipercaya?” Baru setelah itu diam, dan meminta maaf. Kejadian serupa ini sering
terjadi dan diceritakan di tempat-tempat tersebut. Malang bagi penolong yang
tidak ada saksi lain, bisa terjadi apa yang diistilahkan dengan bahasa Jawa “nulung
malah kepenthung” (menolong malah terpukul).
Penolong bisa menderita dimassa masyarakat atau menjadi korban pemerasan.
Hal ini menjadikan surutnya
orang-orang yang bisa menolong menjadi ragu-ragu bahkan menjauh dari peristiwa,
karena takut menjadi korban tertuduh penyebab kecelakaan atau yang mencelakakan
pihak lain. Evolusi kekerasan juga menjadi tekanan bagi salah satu pihak, dalam
penyelesaian secara damai atau kekeluargaan. Hal seperti ini yang benar bisa
menjadi korban ketidakadilan.
Perlu ada solusi untuk mengatasai
hal ini, salah satunya adalah membangun karakter masyarakat untuk berani jujur,
berpihak pada kebenaran dan hormat pada sesama. Demikian pula bagi para pelayan
masyarakat dan penegak hokum.
Selamat berkarya bagi
kesejahteraan umum.
Posting Komentar untuk "Evolusi kekerasan"