Melawan Intoleransi Mayoritas Jangan Diam Para narasumber dan panitia sarasehan GEMAYOMI dengan tema: JOGJA MELAWAN INTOLERANSI |
“Melawan intoleransi, mayoritas jangan diam”, demikian salah satu butir closing statement dari para narasumber sarasehan Jogja Melawan Intoleransi, Jumat 12 Agustus 2022. Sarasehan digelar oleh GEMAYOMI (Gerakan Masyarakat Gotong Royong Melawan Intoleransi) di Joglo Cemara, Sidoagung Godean Sleman. Sarasehan menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-77 dengan mengambil tema Jogja Melawan Intoleransi, dipandu oleh Dr.Subkhi Ridho dengan narasumber Dr.Zuly Qodir, dosen dan peneliti radikalisme; MY.Esti Wijayati, DPR RI PDI Perjuangan dan Prof.Dr.M.Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum, Ph.D of Arts, Guru Besar UGM dan Ketua FKPT DIY.
Prof.Mukhtasar dalam paparannya
mengatakan bahwa ada paradoks dinamika kehidupan bermasyarakat di Yogyakarta.
Ketika Yogyakarta mendeklarasikan menjadi The City Of Tolerance, justru marak
tindak intoleransi. Ketika ada penilaian kota toleransi, Yogyakarta tidak masuk
daftar 10 besar kota toleransi. Yogyakarta sebagai tempat lahir GEMAYOMI, justru
disitu banyak muncul intoleransi. Saat gencar didengungkan pluraisme, semakin marak
lokalitas dan politik identitas. Kondisi ini juga terkait dengan tahun politik.
Senada dengan itu, Dr.Zuly Qodir,
peneliti tentang radikalisme di Perguruan Tinggi, mengatakan bahwa sejak
2011-2019 telah terjadi 37 peristiwa intoleransi dengan sasaran tempat ibadat
semua agama. Selanjutnya Dr.Zuly mengingatkan kepada para peserta sarasehan
akan pesan-pesan Guru Bangsa kita Buya Syaffei Ma’arif “Mayoritas jangan diam
melawan intoleransi” dan “negara jangan kalah dengan preman berjubah”.
Dari kiri: Dr.Subki Ridho (Moderator), Prof.Dr.Mukhtasar, Ibu Yuliani, Ibu MY.Esti Wijayati dan Dr.Zuly Qodir |
“Kasus intoleransi sudah cukup lama terjadi, sejak 25 tahun lalu ketika saya masih di DPRD Sleman, kasus intoleransi sudah ada”. Sambung ibu MY.Esti Wijayati. Maraknya intoleransi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Disaat GEMAYOMI berdiri, karena peristiwa penyerangan di Gereja St.Lidwina Bedog, Februari 2018, bertubi-tubi datang tindakan intoleransi. Sikap mendua para pejabat publik juga menjadi salah satu faktor tumbuhnya intoleransi. Sikap mendua ini misalnya seorang pejabat publik yang telah mengangkat Sumpah/Janji Jabatan, setia pada Pancasila dan UUD 1945, namun pikiran, ucapan dan tindakannya tidak mencerminkan nilai moral bangsa. Atau karena seseorang yang tidak ingin kehilangan konsituennya, kemudian membiarkan bahkan mendukung konsituennya bertindak intoleran.
Tindakan intoleransi yang sudah
cukup lama dan masuk di dunia pendidikan itu juga diiyakan oleh para peserta
sarasehan. Ibu Yuliani dari Sapu Lidi, yang jjga hadir mengatakan; “dari
rekaman CCTV menunjukkan fakta bahwa siswi tersebut memang di paksa pakai
jilbab”. Peserta lain, bapak Margono dari Minggir mengajak, “jangan hanya Jogja
yang melawan intoleransi, tetapi mari Indonesia Melawan Intoleransi”. Menanggapi
ajakan bapak Margono, peserta lain bapak Endro Gunawan dari KOPIJO berharap sama,
bahwa kita Bersatu melawan intoleransi.
Satu Indonesia Voice menampilkan lagu-lagu: Hari Merdeka, Bendera Merah Putih, Indonesia Pusaka, Rayuan Pulau Kelapa dan Aja Padha Nelangsa |
Sarasehan dihadiri sekitar 140 orang dari perwakilan dari Ormas dan Elemen Masyarakat pendukung GEMAYOMI, para tamu undangan, tokoh-tokoh agama dan live streaming, serta dimeriahkan oleh paduan suara Satu Indonesia Voice, pimpinan Wury Oene (swarum 1)
Posting Komentar untuk "Melawan Intoleransi, Mayoritas Jangan Diam"