Dr.Stevanus Christian Handoko, S.Kom.,MM, angggota DPRD DIY
Walaupun banyak juga yang
menentang, pemerintah beralaskan menaikkan harga BBM sebagai solusi terbaik
saat ini. Hal itu untuk mengurangi beban subsidi yang tidak tepat sasaran. Meskipun
dikatakan solusi terbaik, namun keputusan pemerintah untuk menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan keputusan yang sulit diterima
oleh rakyat saat ini. Demikian diungkapkan Dr.St.Christian Handoko S.Kom.MM, anggota
DPRD DIY. Pemerintah secara resmi telah mengumumkan kenaikan harga BBM pada
Sabtu (03/09/2022). Lewat pengumuman itu, harga Pertalite naik dari Rp7.650
menjadi Rp 10 ribu/liter. Pertamax dari Rp12.500 jadi Rp14.500/liter. Menurut
Dr. R. Stevanus, kebijakan itu hanya akan menambah beban hidup masyarakat di
DIY yang saat ini masih terpukul akibat pandemi Covid-19.
Data kemiskinan di DIY di angka
13,8%, artinya pendapatan Rp 500.000,--/bulan. Tingkat UMR sebesar 1,8 juta,
dan hanya 7% dari total penduduk DIY (3.677.446 jiwa) yang bisa kuliah dan
lulus sarjana, sejak kemerdekaan. "Alasan terkait subsidi sebagai beban
ekonomi yang salah sasaran, itu hanya retorika belaka pemerintah saja. Kenaikan
harga BBM justru akan semakin menyusahkan dan memberatkan masyarakat DIY,"
Kata Dr.R. Stevanus.
Menurut Dr.R.Stevanus, kenaikan
BBM memiliki efek domino terhadap kenaikan harga barang pokok dan berbagai
komoditas. Sehingga warga miskin yang menjadi wajah ‘wong cilik’ makin sulit memenuhi kebutuhan. Lebih lanjut
Dr.R. Stevanus mengatakan, pekerja sektor informal seperti kuli bangunan, UMKM,
sopir andong, pramuwisata Malioboro, petani, ojek online, nelayan, sopir
angkutan, pedagang keliling akan semakin sulit bertahan hidup akibat kenaikan
BBM bersubsidi ini.
“Dengan kenaikan harga BBM hingga
mencapai 32% diprediksi akan mendorong tingkat inflasi nasional mencapai angka
6,7 persen. Hal ini pasti berdampak pada daya beli masyarakat di DIY”, ujar Dr.
R. Stevanus Kebijakan pemerintah
memberikan bantalan berupa bantuan
subsidi upah atau pun BLT, kata Dr. R. Stevanus, tidak sebanding dengan dampak
kenaikan BBM bersubsidi. Hal ini memiliki potensi penerima BLT salah sasaran, dan
masih banyak warga yang sebenernya membutuhkan tidak terdata dan tidak
mendapatkan bantuan. “Pemberian BLT hanya penyelesaian instan yang tidak begitu
efektif menutup dampak kenaikan,” kata Dr. R. Stevanus.
Menurut Dr. R. Stevanus,
Pemerintah pusat seharusnya mencari terobosan progressive untuk menambah
anggaran dengan melakukan penghematan, mengatasi kebocoran, merealokasikan/refocusing
anggaran hingga menunda pengeluaran
pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak.
Untuk jangka menengah dan
Panjang, sudah seharusnya pemerintah pusat memikirkan prioritas anggaran untuk
meningkatkan pembangunan kilang minyak, membangun fasilitas pengolahan bahan
mentah hingga menjadi BBM, meningkatkan kapasitas serta secara progressive
untuk mempersiapkan transformasi penggunaan bahan bakar terbarukan seperti
penggunaan listrik”, ujar Dr. R. Stevanus.
Dukungan kebijakan untuk
ecosystem produsen hingga pengguna bahan bakar ramah lingkungan,harus segera
dikeluarkan dan pemerintah harus memberikan stimulus agar ecosystem seperti ini
dapat segera terbentuk diberbagai wilayah di Indonesia. Seperti diketahui
Presiden Joko Widodo mengatakan anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada 2022
telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 Triliun menjadi Rp502 triliun, dan
angkanya diprediksi akan terus meningkat. Karena itu, keputusan untuk menaikkan
harga BBM subsidi disebut menjadi pilihan terakhir untuk mengurangi beban
subsidi yang semakin besar.
Posting Komentar untuk "Solusi terbaik yang sulit diterima rakyat"