"Negara Mawa Tata, Desa Mawa Cara" |
Judul tulisan ini diambil dari peribahasa Jawa yang cukup akrab dengan masyarakat. Dalam Bahasa Indonesia artinya negara punya tatanan dan desa punya adat istiadat. Dalam sebuah negara, tatanan dan adat istiadat sama-sama mendapat tempat dan saling menghormati. Adat-istiadat disatu sisi mesti menghormati dan tunduk pada tatanan negara yang menyatukan sebagai sebuah bangsa, negara, cita-cita, gerak langkah, kebersamaan dll. Dua hal ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat dalam suatu negara atau bagian-bagian dari negara, yang biasa disebut kota, kabupaten, sampai desa-desa mempunyai tatanan atau aturan yang mesti ditaati oleh masyarakat. Peribahasa ini sering diikuti dengan peribahasa lain yang menguatkan atau menegaskan. Peribahasa tersebut bunyinya “dimana bumi diinjak disitu pula langit dijunjung”. Ini mengingatkan kepada warga masyarakat yang masuk di wilayah-wlayah tertentu maka mesti menjunjung dan menghormati tatanan kehidupan yang ada disitu.
Tatanan atau adat istiadat
masyarakat (habitus), itu tidak muncul
begitu saja, tetapi dari proses kehidupan bersama yang mereka jalankan bersama,
kemudian memunculkan tatanan kehidupan yang pada awalnya hanya “lisan”. Setelah
berselang dan berlaku ajeg lalu menjadi tertulis. Tatanan tersebut bisa dari
hasil musyawarah masyarakat setempat, atau kalau ada yang dituakan (tokoh adat,
tokoh masyarakat, raja, atau lainnya) bisa muncul dari mereka. Dalam negara
kerajaan biasanya titah Raja menjadi tatanan yang mengatur seluk beluk kerajaan
dan seisinya. Di negara-negara yang
tokoh-tokohnya dipegang oleh pimpinan-pimpinan agama, maka tatanan bisa diambil
dari hukum atau aturan yang berlaku dalam agama yang bersangkutan.Tetapi hal
ini mengandaikan semua penduduk memeluk agama yang sama dan mayoritas.
Apapun bentuknya tatanan itu
dalam suatu negara prosesnya hampir sama. Tatanan masyarakat merupakan
akumulasi dari kebiasaan-kebiasaan baik dan universal, artinya sebagian
masyarakat menerima dan mau mengetrapkan (menghidupi) dalam kehidupan
bermasyarakat. Pada awalnya jika ada orang-orang yang tidak mau memakai tatanan
tersebut akan terasing atau diasingkan dari pergaulan masyarakat. Sekarang
dimana masyarakat semakin besar (menjadi negara) maka tatanan menjadi lebih
komplit, beragam dan memiliki sanksi hukum.
Kita punya negara, yang juga
memiliki tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tatanan
berkembang seiring dengan kemajuan masyarakat, pun pula negara-negara lain dan
kehidupan seluruh umat manusia. Masyarakat kita berkembang dari masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kehidupan
mereka berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Membuka hutan untuk
tinggal dan bercocok-tanam. Setelah diolah dalam kurun waktu tertentu
ditinggalkan dan membuka hutan baru untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.
Mempertahankan hidup dan kelompoknya.
Tatanan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara kita, ada UUD 1945, Keputusan MPR, Keputusan DPR,
Keputusan Presiden, sampai kesepakatan-kesepakatan di tingkat Rukun Tetangga.
Namun demikian saat ini membentik tatanan juga ada tatanannya-atau prosesnya.
Tidak tiba-tiba ada. Di negara kita ada tatanan seperti yang sudah tertera dalam
sila keempat Pancasila, isinya perwakilan, musyawarah dan mufakat. Di tempat
lain ada yang terpusat dalam diri raja atau kaisar yang bertahta. Proses yang
sekarang berjalan di negara kita salah satunya melalui Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, atau pejabat publik yang diberikan kewenangan
untuk itu sesuai dengan ruang lingkup dan tugas pokok serta fungsi lembaga
masing-masing.
Ini semua menjadi sarana dan proses
perjalanan menuju “masyarakat sejahtera, berkeadilan sosial, menjunjung tinggi
martabat kemanusiaan”. Tuntutan zaman ini adalah tatanan yang berkeadilan sosial
dan menghormati martabat kemanusiaan. Untuk itu diperlukan para bijak dan pandai
untuk membuat tatanan-tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Banyak para pandai saat ini, namun
demikian sedikit para bijak, pun memilih diam.
Diamnya para bijak ini sudah
diantisipasi bahkan nampaknya pernah terjadi di jaman kerajaan di Jawa. Di
Serat Wedatama pada bait 3-4 dan 5. Dalam Bahasa Indonesianya seperti berikut:
3. Hanya mengikuti kehendak sendiri, bila berkata
tanpa perhitungan. Tidak mau dianggap bodoh, hanya mabuk pujian. Namun orang
yang tahu gelagat (pandai), justru selalu merendah diri, (berpura-pura),
menanggapi semuanya dengan baik.
4. Si Dungu tidak menyadari. Bualannya semakin
menjadi-jadi, melantur tidak karuan. Bicaranya yang hebat-hebat, makin aneh dan
tak masuk akal. Si Pandai maklum dan mengalah, menutupi ulah si Bodoh
5. Demikianlah ilmu yang sejati. Sebenarnya hanya
menyenangkan hati. Suka dianggap bodoh. Gembira apabila dihina. Tidak seperti
si Dungu yang selalu sombong, ingin dipuji setiap hari. Jangan demikianlah
hidup dalam pergaulan.
Memasuki tahun politik, nampaknya
tiga bait dari Serat Wedatama relevan untuk kita renungkan. Karena pada saatnya
nanti ada kontestasi dan masing-masing berpotensi: hanya mengikuti kehendak
sendiri; berkata tanpa perhitungan (obral janji dan menjelekkan pihak lain);
merasa pandai dan tidak mau dikatakan bodoh; dan yang pandai banyak yanhg
diam. Akan terjadi bualannya semakin
melantur tidak ada ujung pangkalnya; bicaranya hebat-hebat (bombastis).
Sebaiknya para pandai dan bijak
tidak hanya diam. Negara ini mesti dipimpin oleh para bijak pandai. Kita
mencari orang bijak dan pandai dengan kriteria-kriteria tertentu. Dalam Serat
Wedatama selanjutnya diberikan contoh tindak utama, yang dapat menjadi kriteria-kriteria:
“Contohlah tindak utama. Bagi kalangan orang Jawa, orang besar di Ngeksigondo
(Mataram), yaitu Panembahan Senopati, yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan
jalan prihatin, siang malam selalu menyenangkan orang lain. Setiap pertemuan menciptakan
kebahagiaan lahir dan batin dengan sikap tenang dan sabar.
A.B.Gandi
Posting Komentar untuk "Bermasyarakat-berbangsa-bernegara (1): "