Salam rahayu menjadi pemersatu dan tidak menghilangkan identitas masing-masing |
Salam menjadi heboh, itulah mengapa Indonesia majunya sulit, ya salah satunya mengucapkan salam saja masih menjadi persoalan. Pakai ini yang lain tidak bisa menerima, pakai itu yang satu tidak bisa menerima. Memang ada sekelompok orang yang menginginkan salamnya dipakai untik semua orang, dan disatu pihak di dalam kelompok tersebut berbeda pendapat. Lalu disampaikan salam semua kelompok agama, dan salam berderet-deret. Ada masalah ketika salam berderet-deret diucapkan, karena ada pengucapan yang salah, tidak pas dst. Lagi kalau nanti diteruskan salam yang banyak itu, di Indonesia ada 470 lebih “agama asli”, resikonya ada yang kelewat tidak disebut.
Mari
kita pertimbangkan dengan kaca mata Pancasila sebagai pedoman bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dalam masyarakat gotongroyong yang kita bangun ini
senantiasa menjaga keharmonisan adalah nomor satu. Maka jangan lalu ini dipakai
sebagai lobang untuk masuk sesuatu hal yang berlawanan. Kalau ada hal-hal yang
menjadikan ketidakharmonisan itu harus dilihat permasalahannya dimana. Dengan
tidak ada yang merasa ewuh pekewuh menolak atau menerima. Karena di masyarakat
Indonesia pada umumnya rasa ewuh pekewuh menolak itu susah, lalu menerima
dengan menekan rasa, dari pada membuat gaduh atau tidak enak. Atau membiarkan
semua berjalan, asal tidak terjadi sesuatu, dan keharmonisan terjaga. Dan ini
sudah menjadi karakter sejak dulu seperti yang dibuat dalam Surat Wedatama.
Dalam
Surat Wedatama, bait 3, 4 dan 5 disebutkan: 3). Hanya mengikuti kehendak diri
sendiri, bilan berkata tanpa perhitungan, tidak mau dianggap bodoh, hanya mabuk
pujian. Namun orang yang tahu gelagat (pandai), justru selalu merendah diri,
menanggapi semuanya dengan baik. 4) Si Dungu tidak menyadari, bualannya semakin
menjadi-jadi, melantur tidak karuan. Bicaranya yang hebat-hebat, makin aneh dan
tak masuk akal. Si Pandai maklum dan mengalah, menutupi ulah si Bodoh. 5)
Demikianlah ilmu yang sejati. Sebenarnya hanya menyenangkan hati. Suka diangap
bodoh. Gembira apabila dihina. Tidak seperti si Dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari. Jangan demikianlah hidup dalam pergaulan.
Dalam
bait ini jelas-jelas bahwa banyak orang mabuk pujian dengan bicara yang hebat-hebat,
tetapi tidak masuk akal serta lalu memaksakan kehendak dengan dalil-dalil yang
tidak semua orang bisa memahami. Tetapi mereka diam saja, membiarkan bicaranya
digugu, seolah-olah benar adanya. Ini menjerumukan pada hal yang tidak baik.
Apa yang tidak layak menjadi layak, apa yang tidak benar menjadi benar, karena
dibiarkan terus. Yang tahu merasa lebih baik diam, dari pada bicara tetapi
membuat kacau, tidak harmonis lagi. Tetapi keburukan menjadi menang dan terus
berlangsung.
Nampaknya
dalam hal salam terjadi juga demikian. Orang yang tidak sepenuhnya paham memaksakan
salam tersebut. Seolah-olah itu merupakan kebenaran universal yang bisa diterima
semua orang dan semua lapisan masyarakat. Masyarakat yang tahu dan paham sepenuhnya
diam saja dan menerima dari pada timbul masalah dan hubungan tidak harmonis
lagi.
Maka
seyogyanya memakai salam yang universal bisa diterima oleh semua orang dari
berbagai latar belakangnya. Selamat pagi, siang, sore dan malam serta dalam
surat-surat resmi pemerintahan, Lembaga dan semua instansi juga cukup Dengan
Hormat dan ditutup dengan Hormat kami.
Posting Komentar untuk "Selamat Pagi dan Dengan Hormat saja!"