Perhatikan mereka mengambil sikap duduk |
Pada malem Minggu yang lalu saya berkesempatan mengisi acara pada anak-anak muda Sinoman. Sinoman adalah sekumpulan anak-anak muda dan remaja dikampung, biasanya mereka bertugas melayani (menjadi pramuladi dll) saat di kampung tersebut ada perhelatan perkawinan, atau saat kesusahan, kematian misalnya. Mereka menyajikan minuman dan makanan, dan apa saja yang diminta empunya kerja. Sinoman biasanya dikoordinir dan punya seragam. Minimal kalau tidak ada seragam misalnya bawah pakai warna gelap, yang atas memakai warna cerah atau putih.
Pada
kesempatan tersebut saya diminta mengisi tentang sopan santun, karena ini penting
untuk para sinoman. Sopan santun sangat berkaitan erat dengan tindak tanduk dan
bicara, sopan berkaitan dengan perilaku sedang santun berkaitan dengan
berbicara dengan teman bicara. Bagi anggota sinoman menjadi penting karena nanti
akan terkait saat melayani para tamu. Bagaimana mereka menerima tamu dan
mempersilahkan duduk, saat memberikan minum, makanan dst.
Ternyata
saat ini banyak yang tidak paham dengan sopan santu tersebut. Dari sikap sopan
diri sendiri, misalnya duduk. Duduk dibawah dengan tikar kita mesti bersila
bagi yang laki-laki, sedang yang Perempuan timpuh. Masalah duduk ini
ketika dijelaskan mereka sudah mengeluh, mereka tidak biasa duduk bersila atau
timpuh. Kemudian duduk di kursi, tidak boleh menyilangkan kaki dan bagi Perempuan
harus miring kekiri atau kekanan. Mereka pada umumnya sudah tidak memperhatikan
itu, dengan berbagai alasan, biasanya soal semutan dan tidak betah. Soal berdiri,
bagaimana tangan harus ngapurancang, tidak boleh bergerak terlalu banyak
dan tangan berserawehan kesana-kemari, apalagi ketika dengan bicara, kadang
kita tidak sadar menuding, atau menjawil teman bicara yang kadang tidak pada
tempatnya.
Bersalaman
yang baik, tangan kiri diletakkan dibawah siku tangan kanan, lalu tangan kanan
yang diulurkan untuk menyambut tangan teman. Tetapi kini Salaman bermacam-macam,
apalagi setelah covid-19, kita hanya mengatupkan tangan di depan dada bersama. Namu
nada yang tidak mau bersalaman dan tidak mengatupkan tangan di dada juga.
Berbicara
dengan orang tua, sebaya atau dengan yang lebih muda, ada tataran Bahasa yang
halus dan biasa. Berbicara dengan teman bicara perlu diperhatikan hal-hal
berikut: tidak boleh dengan tangan yang “serawehan” kesana-kemari, tidak boleh
dengan “nyenthe-nyenthe” (nada tinggi, cepat dengan bibir yang biasanya maju),
atau membentak-bentak, memotong pembicaraan orang lain yang sedang bicara.
Perihal
sopan santun dijalan. Misalnya kalau kita berkendaraan di kampung sendiri ya
helm dibuka kacanya, atau kalau mobil sebaiknya dibuka jendelanya. Ketika
menyapa orang ya dilihat orangnya, beri senyuman. Kalau ada kematian-kerumunan
di jalan dilihat ada apa, kita perlu memperlanbat kendaraan, buka jendela atau
kaca helm. Jangan mentang-mentang di jalan terus kita seenaknya sendiri.
Hal-hal
yang sepelu ini saya utarakan kepada mereka, mereka geleng-geleng kepala. Banyak
yang mengatakan bukan jamannya lagi dan kita tidak salah melakukannya. Saya katakana
soal sopan santun bukan salah benar, tetapi patut dan layak dilakukan atau
tidak. Sopan santun tidak ada hukumnya atau sangsinya. Sangsinya oleh Masyarakat
sekitar atau orang lain. Saya katakan paling-paling diteriaki, kalau misanya di
jalan tidak sopan. Kalau keterlaluan dikatakan “mnbok jatuh ya” atau “kok nggak
mati sekalian”.
Itu
baru yang sepele-sepele tetapi sekarang sudah hampir ditinggalkan oleh kita
semua.
Posting Komentar untuk "Sopan santun mulai luntur?"