Pukul dulu urusan belakang, nampaknya menjadi trend jaman ini. Istilah ini untuk menyatakan atau mengajak bahwa kalau mempunyai tujuan, supaya tidak bertele-tele urusannya maka ambil dulu hasilnya, urusannya diurus belakangan. Niat seperti sebenarnya sudah lama, tetapi saya terusik ketika niat seperti ini tidak hanya oleh orang perorang, tetapi juga sudah menyangkut institusi atau orang yang tersebut mempunyai kedudukan, sehingga berpengaruh dan membawa institusinya. Maka kalau sudah menyangkut institusi dan berskala besar atau nasional dampaknya yang merasakan adalah rakyat atau orang-orang kecil.
Ambil saja contoh beberapa hal
yang “pukul dulu urusan belakang“. Pemuda yang mau menikah, menghamili pasangan lebih dulu;
pinjam seratus dulu, nanti kuganti; ada urusan keuangan atau dendam, dibunuh
dulu; kebijakan gas melon, oplos pertamax, bentuk Danantara undang-undangnya
menyusul, dlsb. Jadi sudah menjadi pola, sejak dari keputusan pribadi sampai
pada Lembaga negara „pukul dulu urusan belakang“.
Ini tanda bahwa kita sedang tidak
sehat secara rohani. Setiap keputusan dan tindakan (apalagi menyangkut orang banyak/public)
hendaknya melalui tahapan pemikiran dan perencanaan. Tidak bisa asal diketok dan
diputuskan terus nanti dibuatkan aturannya. Setiap keputusan ada tahap
pemikiran dan perencanaan.
Orang akan membangun rumah, dia
harus duduk dulu berhitung. Luas bangunannya berapa, bentuknya seperti apa, butuh
berapa batu merah, semen, pasir, pintu, kayu dll. Lalu uangnya ada berapa untuk
itu, berapa waktu pekerjaan rumah bisa diselesaikan. Itu masih perlu berhitung
bagaimana struktur tanah yang akan dibangun rumah, bagaimana juga kondisi angin
setiap harinya. Tidak tiba-tiba saja dibangun. Jangan-jangan bangunannya diatas
wedi kengser yang tidak keat menyangga bangunan diatasnya.
Demikian pula orang akan menikah,
tidak tiba-tiba menghamili pasangannya. Perlu perencanaan yang matang, dan
tidak gegabah. Pernikahannya nanti dimana, pakai adat apa, tamunya yang
diundang berapa, menu suguhannya apa, mau pakai musik organ tunggal atau yang
lengkap. Permikahan itu perlu memikirkan kalau ada keturunan harus lebih baik
dari bapa-ibunya, bukan sebaliknya. Kiranya perlu dipikir dan dikontruksi ulang
kalau anak menjadi lebih buruk dari bapak ibunya. Dari segi apa saja, tutur
kata, perilaku, pemikiran dan spiritualitasnya.
Ini negara bung, negara milik
rakyat banyak, bukan milik kakek dan nenek kalian. Ada Undang-undang Dasar yang
mendasari peraturan-peraturan yang akan dipakai. Ada dasar negara dan pandangan
hidup bangsa Pancasila. Apa-apa yang dilakukan sebaiknya mengikuti derap dan
nafas Pancasila. Masyarakat kita masyarakat gotongroyong, bukan masyarakat yang
lain. Kalau ada beban dipikul bersama supaya ringan. Kalau ada masalah dirembug
bersama juga, tidak adu otot, siapa kuat yang menang.
Negara gotongroyong itu: duduk
bersama, berfkir bersama, berembug bersama, memutuskan bersama dan mengerjakan
bersama, nanti hasilnya dinikmati bersama pula. Dengan demikian adil, tidak ada
yang dirugikan dan diuntungkan, semua kebagian. Kita bukan masyarakat sipil
dimana individu diutamakan, maka pengambilan keputusan biasa dengan voting,
karena menghargai individu. Kita juga bukan masyarakat yang menganut sistem
militeristik, sistem komando, dari atas (sekali) sampai bawah (sekali) harus
ikut. Kita juga mengikuti sistem masyarakat yang lain, yang kalau mengambil
keputusan mayoritas harus menang dan mempunyai hak veto, tidak.
Sekali lagi ayo bangun bersama
masyarakat gotongroyong: duduk bersama, berfikir bersama, berembug bersama,
memutuskan bersama, mengerjakan bersama dan menikmati bersama. Salam pro bono
publico.
Posting Komentar untuk "Pukul Dulu, Urusan Belakang"